Kamu tahu saat-saat
yang paling ku rindukan dari sebuah kehilangan adalah saat rindu itu datang
menyergap ke dalam jiwa kita. Saat dimana rasa sakit telah berganti menjadi
sesak yang mencekik tenggorokan. Entah mengapa saat ku melihat langit yang biru
itu tersimpan masih ada haran untuk hari esok, hari untuk kita. Seperti yang
selalu engkau ceritakan dan bisikan padaku. Hey mahluk tegap yang selalu
menguatkan langkahku. Kemana perginya jiwa gagahmu itu. Hey makluk lembut
tetapi keras hatinya, kemana kokohnya jiwamu pada hatiku. Aku merindukanmu !!!
Tentang kamu!!!!!
cerita akan terangkai saat aku merindukan kamu, cerita yang hanya dapat aku
ceritakan kepada tembok-tembok kamarku saja atau lebih tetapnya terdengar oleh
telingaku sendiri. Jika aku pikir aku menceritakan tentang kamu saat aku hanya
merindukan kamu saja, kamu salah !!! kamu selalu ada dalam setiap ceritaku
dalam setiap langkahku. Jika kamu tak pernah ada dalam langkahku untuk apa aku
bersusah panyah mengejarmu dan berusaha menggapaimu. Jika kamu tak pernah ada
dalam ceritaku maka mungkin aku tak dapat menulis tentang kamu.
Heeey mahluk manis,
yaah kadang aku ingin bilang kamu tanpak manis dengan semua ambisimu itu yang
terkadang melupakanku sejenak dan kembali lagi pada waktu yang lain dengan
sebuah kejutan yang spesial. Tapi sesungguhnya aku bisa mati karena selalu
menikmati manismu dan menyiksaku secara perlahan. Aku kadang butuh pahitmu, untuk
membiasakan kesehatanku agar tidak selalu menikmati manismu.
Hey mahluk cerdas, yaa
kamu sangat cerdas mengatur semuanya menjadi sangat rapi dan sempurna. Ajarkan aku
bagaimana kamu mengatur sebuah rasa sehingga tak melukai hatimu dan mengatur
birunya rindu agar tak mengganggu segenap aktifitasmu. Aku di sini tersiksa
mengatur semuanya, mengatur bayangmu untuk tidak mengikuti kemana langkah
kakiku pergi.
tak ada yang berubah meski kenangan sudah
berhasil kau kemas dan luka tak lagi membuatmu cemas. sebab kepergian selalu
terasa nyata dan kesepian selalu mencari teman. di depan cermin ada sejarah
yang mengulang-ulang dirinya, memanggilmu dari kejauhan. aku bersembunyi di
sudut lain membiarkanmu menatap wajah yang selama ini bertarung dengan ragu:
benarkah sejauh ini pernah ada kita di situ?
tak ada yang terganti meski ingatan
tergulung rapi dan kau sudah menyediakan ruang yang lain lagi. sebab raung yang
kau pendam selalu memantulkan diri setiap kali kau mulai meraba pipi: di depan
cermin kau membayangkan tanganku mengusap lagi wajahmu, menyentuh kembali
kenangan itu. ada yang mengalir di pipimu tapi bukan airmata. seperti ingatan
yang mencair dan mencari rumah. rindu yang pergi dan pulang ingin sekali rebah.
tak ada rumah yang kau ingat di balik cermin
itu. sebab tak pernah ada kau dan aku.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar