Meski selalu ada
kemungkinan, hati seringkali memaksakan diri untuk bertahan pada sebuah jatuh
yang membuat pemiliknya lupa bagaimana cara tersenyum. Sampai saat ini, aku
masih ingat beribu-ribu hari yang lalu, patah hati mengubah semua warna
menjadi gelap. Menjadi hitam. Legam. Penuh rasa takut, bahkan hanya sekadar
berbalas tatapan mata untuk sepersekian detik.
Melihat bagaimana patah
hati menyita seluruh kewarasan, bagaimana patah hati merenggut habis keinginan
untuk hidup, dan bagaimana patah dapat hati membuat seseorang betah menikmati
nestapa yang panjang.
Aku selalu
bertanya-tanya mengapa semesta selalu sepihak mempertemukan dan memisahkan? Tak
adakah kita memiliki kesempatan untuk menentukan sendiri? Apakah Tuhan seperti
anak kecil yang sedang belajar bermain catur? Dan kita, adalah bidak catur yang
harus memilih langkah sendiri dan sesekali mengais bahagia serta petunjuk
agar selalu baik-baik saja dengan kalimat-kalimat penuh permohonan.
Andai kata patah hati
bukan pilihan yang harus dipilih, pada akhirnya itu selalu terjadi tanpa pernah
bisa dihindari. Kita harus pasrah ditikam kejamnya kehilangan yang pada
awalnya hanya anak-anak harapan yang lugu. Kemudian kita menjahit luka satu per
satu dengan air mata sebagai jarumnya, dan ikhlas yang menjadi benangnya.
Melukis senyum palsu untuk semua orang di dunia ini di depan cermin sambil
berusaha keras agar kelopak mata tidak terjadi hujan badai yang membanjiri
pipi. Dan berusaha terlihat tegar dan ceria dengan sisa-sisa tabah dalam tubuh
yang ringkih hampir hancur.
Aku telah sadar dan
banyak belajar dari waktu yang tak pernah pamrih menuntun hatiku singgah
pada hati seseorang. Bahwasanya genggaman tangan bisa terlepas kapan saja.
Pelukan erat tak menjadi jaminan bahwa tak ada celah untuk lengan lain yang
menunggu kesempatan menggantikan.
Oleh sebab itulah,
terkadang aku memilih untuk mematahkan hati sendiri tanpa perlu menunggu
dipatahkan. Kadang aku memutuskan untuk tidak mengutarakan perasaan pada
ia yang kucintai, dan merelakan senyum bahagianya diciptakan orang lain.
Kadang aku menikmati tawanya yang membahana memunggungiku. Kadang aku
membodohi rindu dengan berpura-pura telah lupa nama ia yang selalu kusebut
dalam doa. Kadang aku hanya membiarkan jatuh cinta berlalu begitu saja sampai
waktu mengantarkanku pada kesempatan berikutnya.
Atas nama roda
kehidupan yang selalu berjalan. Menghilanglah dalam kesunyian, setelah itu
belajar untuk menemukan yang ingin menemukanmu. Berteriaklah dengan sangat
kencang, agar pedih menemanimu menikmati duka yang lantang.
Berdiamlah layaknya sekarat, supaya kau mendengar debar jantung yang
hampir mati dan isi hati yang berbisik tak berdaya menagih perihal rasa-rasa
yang dibunuh paksa. Patahkanlah hatimu dengan yakin, lalu kau belajar lagi
untuk menyambungnya dengan harapan dan doa untuk dirimu sendiri.
Nikmatilah getir yang terkecap di seluruh tubuhmu, kemudian tempa ketabahan
dengan luka agar kau terlahir menjadi manusia baru yang jauh lebih kuat
dan hebat.
Mematahkan hati sendiri
adalah bunuh diri yang sempurna.
Barangkali, dengan
begitu cinta akan lebih sederhana. Saat berhenti sebelum memulai dan
mematahkan hati sendiri menjadi jalan pintas yang mencegahmu berjudi
harapan dan menempuh jalan terjal penuh luka yang ditimbulkan oleh
harapan dan kekecewaan pada irama yang bersamaan. Tanpa perlu kau
membuang waktu untuk patah hati yang tak perlu di setiap titik-titik kehidupan
yang memang harus dilalui.
Meski aku tak dapat
mengatakan mematahkan hati sendiri adalah langkah yang
benar. Aku hanya menanamkan keyakinan pada jalan ini, semoga pada jatuh
cinta berikutnya Tuhan memberi jatuh cinta yang baik, yang mengangkat
kesetiaan sebagai penghargaan tertinggi.
Aku
percaya, patah hati adalah pemahaman yang tak dapat dibantah bahwa cinta tak
selalu berakhir indah, namun percayalah, setelah itu ada
kebahagiaan yang menunggu kausambut penuh suka cita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar