Merelakan apa yang begitu kita
inginkan. Ya, menyakitkan. Sakitnya tak hanya cukup sehari dua hari. Terkadang
terbawa sampai mati.
Seperti
kalian, tentu aku sering kali merasakannya, walau tak setiap waktu. Tapi entah
mengapa, merelakan apa yang begitu dinginkan—tak pernah mampu terbiasa
mengalaminya. Selalu saja berhasil membuatku menangis lagi, dan lagi. Aku benci
ketika mengalaminya, kemudian kembali mempertanyakan kemampuan diri sendiri,
mempertanyakan soal usaha yang telah dikerahkan. Dan bagian yang paling
kubenci, mempertanyakan sayang Tuhan, padaku. Sungguh aku benci bagian yang
itu. Aku benci ketika aku mulai mempertanyakan apa yang Dia beri padaku.
Seseorang
harus mendengar keluhanku kemudian, rengekkan sumbang. Ya, mereka adalah
sahabat. Ingin selalu bisa menceritakan yang baik-baik saja, tapi kembali lagi
menyampah hal yang sama. Gagal, terkadang gagal membuatku menjadi manusia yang
paling menyebalkan yang mampu kalian temui. Dan aku seringkali memilih untuk
menyimpan kegagalanku sendiri. Memasukkannya dalam laci dan berharap kemudian
mereka hilang begitu saja.
Saat
kecil, ketika aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku akan merengek
seharian lalu kemudian ibuku lelah mendengarnya dan menjadikannya nyata. Ibu,
bisa jadi seperti Tuhan dalam wajah lain. Mengalah pada harapan anak-anaknya,
walau belum tentu baik. Tetapi Tuhan tidak selemah mereka. Tuhan selalu hanya
memiliki satu keputusan, bagaimana kau mampu menggoyahkanNya. Ketika kau bahkan
tak tau apa yang sedang Dia persiapkan untukmu. Manusia cenderung sok tau. Dan
Tuhan tak suka didahului keputusanNya. Kurasa ya, kurasa Tuhan tidak suka
Ya,
ini soal merelakan apa yang begitu kau inginkan. Tak melulu soal cinta, tak
melulu urusan hati. Mereka walau butuh waktu, tapi akan sembuh kemudian
berlalu. Tapi ketika kau harus merelakan impianmu, sebagian dari isi tujuan hidupmu.
Ceritanya menjadi lebih dramatis. Menjadi tak cukup habis dalam satu episode
saja. Atau bahkan akan menjadi film yang tak terselesaikan, yang bagian
endingnya hanya memunculkan pertanyaan di benak penonton. Tapi aku sedang tidak
menonton, aku lah yang menjalaninya. Aku ingin penonton pulang tanpa
pertanyaan, dan kemudian aku terselesaikan. Katanya, film yang menggantungkan
benak penontonnya, adalah film keren. Tapi siapa yang ingin cerita hidupnya
digantungkan. Pernah kah kalian pikirkan nasib tokoh yang ada di dalamnya.
Menyedihkan
Aku
sedang mencoba merelakan apa yang begitu aku inginkan, dulu aku mampu merelakan
yang lain, maka kenapa yang ini tidak? Aku tentu akan merelakannya, aku hanya
butuh waktu --- aku butuh mereka. Mereka saja, mereka yang mampu membereskan
segalanya.
Ini
adalah tentang sesuatu yang begitu enggan kau lepaskan.
Semoga
Tuhan tidak (lagi lagi) membaca tulisan ini. Dia sudah cukup bosan mendengarnya
dari dalam hatiku. Melebihi berkali-kali.






Good..good....!
BalasHapusSepakat dengan kallimat "film yang menggantungkan benak penontonnya, adalah film keren", dan sepertinya Tittlenya juga menggantung tuh.. :) sehingga dari Tittlenya saja udah terlihat keren.! Keep writing...
makasi sudah mampir :D
BalasHapus