Sabtu, 01 November 2014

Galaunya ngga kece...

Sore tadi saya tiba-tiba ingin membuat kopi hitam. Kalian yang mengenal saya pasti tahu, saya tidak suka kopi. Saya tidak suka mereka. Kuberi tahu satu rahasia kenapa saya tidak suka mereka. Nenek dari ibu saya, dia dulu terserang stroke karena terlalu banyak meminum kopi hitam. Lalu dari pada menyalahkan nasib, saya lebih suka menyalahkan kopi hitam setiap kali menatap Nenek saya yang tergeletak tak berdaya di ranjangnya. Hahaha.. Tidak, saya bercanda, saya tidak suka menyalahkan apa pun sebenarnya, saya hanya tidak ingin menjadi sakit seperti sakit yang Nenek saya alami. Maka dari itu saya tidak suka meminum kopi.   

Dan ketika satu gelas habis saya minum, saya menginginkannya lagi. Ternyata mereka tidak seburuk yang saya yakini selama ini. Namun saya memutuskan untuk tidak membuatnya lagi. Satu gelas cukup. Saya hanya ingin merasakan pahitnya saja. Mencoba mengerti bagaimana dulu Nenek saya bisa begitu menyukainya, bahkan mampu menghabiskan bergelas-gelas.


"Semakin sederhana hidupmu, semakin sederhana keinginanmu. Tapi kadang, justru semakin besar yang kamu dapat."

Setidaknya itu yang saya rasakan akhir-akhir ini. Saya itu terlalu mandiri memang, jadi ketika saya jauh dari orang-orang yang saya sayang atau dijauhi oleh orang-orang yang saya sayang, saya tidak mudah panik. Saya pandai menyibukkan diri, bahkan pandai berdiam diri -_- pandai mengantuk, pandai pula lapar. Walau ada waktunya saya akan melangkah mencari mereka. Karena saya sudah ngga tahan kangennya.

Dan akhir-akhir ini hidup saya teramat sederhana. Bangun pagi, disapa selamat pagi sama papa, duduk di meja makan sembari meminum teh. Lalu saya akan beranjak ke dapur, memasak bubur beras untuk mama, lalu merebus sayuran dan bahan lainnya untuk campuran ke dalam bubur beliau. Sambil mendengarkan lagu, saya biasanya menekuk kaki saya, memeluknya dan merenung mengingat mimpi semalam. Kalau tidak berhasil ingat saya menulis sebentar. Selesai bubur saya matang saya akan beranjak memasak air untuk memandikan mama. Air mendidih saya akan beranjak ke kamar, mencium kening mama, mengatakan “Ayo kita mandi!” Dengan nada sok semangat 45.

Dan akhir-akhir ini keinginan saya pun selalu sederhana. Saya hanya tidak mau mengeluh terlalu sering, saya hanya ingin selalu sholat tahajud dan kembali rajin puasa sunah, saya hanya ingin ayah dan ibu saya sehat. Saya hanya ingin semua baik. Tidak perlu hal-hal yang ‘wah’. Saya cukup bahagia di sini. Setidaknya, saya masih mau berusaha untuk bisa bahagia seutuhnya.

Oh iya, ada beberapa doa saya yang dikabulkan Tuhan. Ah, bukankah Tuhan itu begitu baik. Hal-hal yang kadang saya ucapkan tidak sengaja di dalam hati saja Dia ‘amin-kan’.

Terima kasih Tuhan, atas beberapa hati yang kau sisihkan, mereka yang masih sayang padaku dan bertahan bersamaku sampai detik ini. Mereka pasti tahu, aku menyayangi mereka lebih dari apa pun. Walau aku tak pandai menyampaikan sayangku ini. Terima kasih juga buat seorang 'kamu' yang selalu menguatkanku, yang selalu membuatku merasa baik-baik saja di hari yang tidak baik. Setiap kali menggenggam tanganmu, aku selalu merasa bahwa dunia adalah ruang teraman untuk berbahagia.
Terima kasih untuk semua yang rajin mendoakan saya. Tuhan akan balas kalian berkali-kali lipat baiknya! :’)

**********

Saya itu orangnya keras kepala dalam beberapa hal. Seperti soal menangis, saya itu benci setengah mati sama diri saya kalo lagi cengeng. Dan ya, saya ngga pernah suka ngebiarin Tuhan melihat saya begitu lemah. Tapi seperti biasa, sedih saya toh ngga bertahan lama, yang tersisa tinggal-lah bengkak. Sedihnya, entah sudah pergi kemana.

Ah, saya rasa Tuhan kasihan lihat mata saya yang bengkak pagi tadi, lalu Dia pun mengirimkan kekhawatiran orang-orang yang sayang pada saya. #positifthinking

Seharian tadi adalah hari di mana saya banyak nangis. Nonton drama korea episode terakhir aja nangis bombay. Hahaha. Dan entah kenapa tiba-tiba saya berpikir kenapa akhir-akhir ini saya tidak punya pilihan dalam hidup saya. Ketika banyak yang lain bingung dengan pilihan yang ada di hadapan mereka. Saya, seakan tidak kebagian satu pun pilihan. Bisa dibayangin ngga rasanya? Dramatis.

Saya itu jarang banget mau fokus sama hal-hal yang saya tahu saya ngga bisa rubah. Mereka adalah apa yang sering kamu sebut takdir. Saya tahu, hidup saya itu lagi nggak oke sekarang, tapi saya selalu ngga pengen mikirin hal itu. Fokus sama yang baik-baik aja. Saya selalu mikir begitu. Tapi ada kalanya benteng pertahanan saya runtuh dan saya cuma pengen nangis.

But hey Anis, nangis itu is okay. Kamu ngga cuma boleh nangis karena nonton drama di leptop. Kamu juga boleh nangisin drama hidup kamu sekali-sekali. Tuhan ngga akan mandang kamu lemah. Tuhan ngga akan menilai kamu lagi mengeluh. Tuhan terlalu baik untuk berpikir se negatif pikiran kamu.

Dulu waktu SMA, saya punya teman pria namanya Indra. Suatu kali ketika pulang dari Sekolah bareng, dia tiba-tiba nanya;

“Kamu tuh ngga pernah punya masalah berat ya nis? Perasaan tiap hari, kamu kelihatan seneng-seneng aja. Kenapa saya ngga pernah liat kamu galau? Tulisan kamu doang aja yang galau.”

Lalu saya pun tertawa, “Iya ya? Anis malah ngga pernah kepikiran ke situ. Masalah mah banyak Ndra, sama aja kayak yang lain.”

Ah, saya tiba-tiba rindu dengan Anis yang dulu itu, yang seperti ada di hadapan Indra kala itu. Yang benteng pertahanannya kuat seberapa pun hidup berat. Semakin dewasa, kenapa manusia justru semakin banyak berpikir. Saya ngga suka orang dewasa kalo modelnya begini. Galaunya ngga kece.


  
Notes: Berhari-hari menatap seseorang yang begitu kamu cintai tengah sakit, tidak hanya membuat kepalamu ingin pecah, tapi juga hatimu berserakan kemana-mana

Kamis, 30 Oktober 2014

ENTAHLAH

Aku baik-baik saja. Atau setidaknya, aku masih ingin berusaha terlihat baik-baik saja.
Aku tidak suka meminta padamu hal-hal yang merepotkan. Aku hanya selalu ingin diingatkan bahwa; segalanya akan selalu baik-baik saja


Terkadang aku ingin berdoa seraya menangis kencang dalam kebisuan pada malam-malam lalu. Memperlihatkan kelemahanku pada Tuhan bahwa aku tak sekuat yang orang lain bayangkan, bahwa aku begitu rapuh dan remuk dengan apa yang terjadi ini. Aku rindu kamu...

Entah kapan kita pernah berjanji untuk bertemu, setelah sekian lama aku menabung pundi-pundi rindu yang kusimpan di dalam dadaku yang kian meringkih akibat harapanku sendiri dari waktu ke waktu.
Namun sayangnya penantian tak pernah sederhana, dan sayangnya penantian tak selalu menghasilkan temu. Kau tau? Aku selalu menghargai waktu dengan tidak membahasnya saat bersamamu. Kau tau? Setiap pertemuan adalah bom waktu menuju perpisahan hingga tiba saatnya entah dengan alasan apa di ujung jalan kita melepas genggaman.
Kau tau?
Tak ada yang benar-benar selamat dalam ucapan selamat tinggal.

Entahlah saya tidak mengerti tujuan menulis ini, isi kepala saya sedang hitam putih. Ada wajahmu di sana yang berputar-putar pelan dalam muara kecemasan. Saya hanya ingin bilang dua hal yang tidak perlu kamu tahu sebab ini hanyalah kalimat sederhana dari orang biasa yang terbiasa menyebut namamu ketika sujud dan memejamkan mata.

“Mencintaimu bukan perihal mudah, sebab saya harus berkali-kali berhenti menyerah.
Dari segala hal yang membuat saya bahagia dan bersyukur, mendoakanmu adalah salah satunya.”

*********
Tidak, ini bukan salahmu. Pun bukan salahku.
Kita hanya tengah saling menyayangi, hingga begitu bingung harus bagaimana agar tak saling menyakiti.~
Karena saat kita terluka, orang pertama yang bertanggung-jawab atas luka itu adalah diri kita sendiri. Kita yang membiarkannya terjadi :)

Ada hal yang tidak kamu tau ketika kau tersenyum, tentang seseorang yang melakukan sama setiap kali dia melihatmu. Dia merasa gembira, tanpa kau tau, dia terpejam dan membayangkanmu berada di sampingnya.

Ada hal yang tidak kamu tau ketika kau tertawa, tentang seseorang yang memamerkan giginya dalam mulutnya yang terbungkam, agar orang di sekitarnya tak menyangka dia gila karena tertawa melihatmu tertawa…, meskipun bukan karenanya.

Ada hal yang tidak kamu tau ketika kau menangis, tentang seseorang yang merasakan hatinya teriris. Dia tak mampu menepis rasa sakit di hatinya ketika melihatmu menangis, karena dia merasa apa yang kau rasa adalah perasaannya juga. Kau adalah bagian darinya.

Ada hal yang tidak kamu tau ketika kau marah, tentang seseorang yang mengepalkan tangannya untuk siap meninju orang yang menjadi tersangka atas penyebab kemarahanmu, tetapi dia tak mempunyai hak atau kuasa untuk melakukannya karena dia bukan siapa-siapamu.

Ada hal yang tidak kamu tau ketika kau sedih, tentang seseorang yang ingin sekali memelukmu erat, menguatkanmu, menabahkanmu, meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja. Namun dia menahannya, orang itu hanya berharap kau selalu bahagia.

Ada hal yang tidak kamu tau ketika kau tertidur, tentang seseorang yang duduk di atas sejadahnya, mengangkat kedua tangannya sedada, dan mengucapkan amin sebanyak-banyaknya. Dia berdoa meminta Tuhan memberimu bahagiamu saat terjaga, dia berharap kau pun mengamininya. Meskipun kau berbahagia bukan bersama dirinya.

Dan terakhir, tarik dan embuskankan napasmu sejenak untuk mengetahui hal terakhir.
Ada hal yang tidak kamu tau ketika kau jatuh cinta, tentang seseorang yang mencintaimu, namun kau tak pernah melihatnya. Kau terlalu sibuk melihat ke depan tanpa pernah sempat menengok ke belakang, kau selalu memunggunginya dan dia menunggu. Hingga akhirnya dia sadar semua ketulusan yang dilakukannya hanya sia-sia, namun dia mengikhlaskannya dan merelakanmu
Selama kamu tak lelah menggenggam tanganku, aku pun tak perlu melelahkan diri sendiri utk bertanya ‘kenapa’ kamu mau mencintaiku selama ini.



Rabu, 09 April 2014

Cerita Profesi jiwa yang .....







Merelakan apa yang begitu kita inginkan. Ya, menyakitkan. Sakitnya tak hanya cukup sehari dua hari. Terkadang terbawa sampai mati. 

Seperti kalian, tentu aku sering kali merasakannya, walau tak setiap waktu. Tapi entah mengapa, merelakan apa yang begitu dinginkan—tak pernah mampu terbiasa mengalaminya. Selalu saja berhasil membuatku menangis lagi, dan lagi. Aku benci ketika mengalaminya, kemudian kembali mempertanyakan kemampuan diri sendiri, mempertanyakan soal usaha yang telah dikerahkan. Dan bagian yang paling kubenci, mempertanyakan sayang Tuhan, padaku. Sungguh aku benci bagian yang itu. Aku benci ketika aku mulai mempertanyakan apa yang Dia beri padaku. 


Seseorang harus mendengar keluhanku kemudian, rengekkan sumbang. Ya, mereka adalah sahabat. Ingin selalu bisa menceritakan yang baik-baik saja, tapi kembali lagi menyampah hal yang sama. Gagal, terkadang gagal membuatku menjadi manusia yang paling menyebalkan yang mampu kalian temui. Dan aku seringkali memilih untuk menyimpan kegagalanku sendiri. Memasukkannya dalam laci dan berharap kemudian mereka hilang begitu saja.

Saat kecil, ketika aku tidak mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku akan merengek seharian lalu kemudian ibuku lelah mendengarnya dan menjadikannya nyata. Ibu, bisa jadi seperti Tuhan dalam wajah lain. Mengalah pada harapan anak-anaknya, walau belum tentu baik. Tetapi Tuhan tidak selemah mereka. Tuhan selalu hanya memiliki satu keputusan, bagaimana kau mampu menggoyahkanNya. Ketika kau bahkan tak tau apa yang sedang Dia persiapkan untukmu. Manusia cenderung sok tau. Dan Tuhan tak suka didahului keputusanNya. Kurasa ya, kurasa Tuhan tidak suka

Ya, ini soal merelakan apa yang begitu kau inginkan. Tak melulu soal cinta, tak melulu urusan hati. Mereka walau butuh waktu, tapi akan sembuh kemudian berlalu. Tapi ketika kau harus merelakan impianmu, sebagian dari isi tujuan hidupmu. Ceritanya menjadi lebih dramatis. Menjadi tak cukup habis dalam satu episode saja. Atau bahkan akan menjadi film yang tak terselesaikan, yang bagian endingnya hanya memunculkan pertanyaan di benak penonton. Tapi aku sedang tidak menonton, aku lah yang menjalaninya. Aku ingin penonton pulang tanpa pertanyaan, dan kemudian aku terselesaikan. Katanya, film yang menggantungkan benak penontonnya, adalah film keren. Tapi siapa yang ingin cerita hidupnya digantungkan. Pernah kah kalian pikirkan nasib tokoh yang ada di dalamnya. Menyedihkan

Aku sedang mencoba merelakan apa yang begitu aku inginkan, dulu aku mampu merelakan yang lain, maka kenapa yang ini tidak? Aku tentu akan merelakannya, aku hanya butuh waktu --- aku butuh mereka. Mereka saja, mereka yang mampu membereskan segalanya.

Ini adalah tentang sesuatu yang begitu enggan kau lepaskan. 

Semoga Tuhan tidak (lagi lagi) membaca tulisan ini. Dia sudah cukup bosan mendengarnya dari dalam hatiku. Melebihi berkali-kali.